Skenario Kompetisi Partai di Pemilu 2029: Bagaimana Posisi Gerindra?

Sumber Foto: KOMPAS/RIZA FATHONI
Oleh Arya Fernandes
Puncak kenaikan suara Gerindra terjadi dalam pemilihan umum 2014, bukan pada 2024 ketika Prabowo Subianto terpilih menjadi presiden. Saat itu, suara Gerindra naik hampir tiga kali lipat dari 4,46 persen (2009) menjadi 11,81 persen (2014). Sebaliknya, dari 2019 ke 2024 kenaikan suara Gerindra tidak sampai 1 persen. Bahkan bila diambil rata-rata, kenaikan suara Gerindra dalam 3 pemilu terakhir hanya 0,47 persen.

Bila tidak ada perubahan mendasar terutama dalam kaderisasi, penguatan infrastruktur dan kelembagaan partai, dikhawatirkan suara Gerindra bisa berpotensi stagnan atau malah turun.

Kecenderungan penurunan suara partai yang tengah berkuasa sudah terjadi pada dua partai lain, yaitu Demokrat yang merosot tajam dari 20,85 persen (2009) menjadi 7,43 persen (2024), serta PDI Perjuangan dari 18,95 (2014) menjadi 16,72 (2024).

Dengan kondisi saat ini, di mana sebagian besar elite utama berada di pemerintahan, membuat tidak mudah bagi Gerindra untuk menjadi partai pemenang dalam pemilu legislatif 2029, kecuali mampu bertransformasi cepat.

Tantangan untuk menjadi partai pemenang bisa dipengaruhi oleh kompetisi antar partai yang semakin meningkat, persepsi pemilih terhadap kinerja pemerintahan serta implementasi program-program strategis seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Merah Putih, Sekolah Rakyat dan program lainnya. Program-program ini bisa menjadi semacam “jimat politik” untuk mendongkrak suara Gerindra. Sebaliknya, bila implementasinya bermasalah justru bisa tidak menguntungkan.

Suara Gerindra memang mengalami kenaikan, namun kenaikannya tidak sebesar pencapaian Presiden Prabowo pada pemilu presiden 2024 yang melonjak hampir 15 persen dari 44,5 persen menjadi 58,59 persen. Sebaliknya Gerindra hanya naik 0,65 persen.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam pemilu legislatif nanti, inovasi politik akan sangat menentukan masa depan Gerindra. Apalagi, dengan koalisi besar, pemilih akan sulit mengidentifikasi partai utama pendukung pemerintah, dan partai yang sekadar menjadi “pemanis”.

Ke depan, suara Gerindra akan dipengaruhi oleh konsolidasi internal. Namun, situasi tidak mudah karena hampir seluruh elite utama terkonsentrasi di lingkaran pemerintahan. Faktor penting lain dipengaruhi oleh stabilitas suara Prabowo dan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan.

Tiga Skenario

Mari kita bayangkan tiga skenario yang mungkin terjadi beberapa tahun ke depan:

  1. Prabowo terpilih kembali dalam pemilu 2029, tetapi suaranya tidak mencapai 60 persen. Hal ini mungkin terjadi karena sulit bagi presiden untuk bisa melewati angka 61 persen pada periode kedua. Sebagai perbandingan, Presiden SBY meraih 60,85 persen pada pemilu 2009, dan Presiden Jokowi 55,5 persen pada Pemilu 2019.
  2. Prabowo menang dalam dua putaran pemilu presiden.
  3. Pemilu berlangsung dua putaran, tetapi belum bisa diprediksi siapa yang akan menang. Skenario ini bisa terjadi jika muncul ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah, ekonomi memburuk, atau hubungan Prabowo – Jokowi pecah kongsi.

Terhadap 3 skenario ini bagaimana posisi Gerindra?

  1. Gerindra bisa menjadi pemenang Pemilu Legislatif 2029 bila kepuasan publik terhadap pemerintah stabil dan elektabilitas Prabowo konsisten di atas 60 persen.
  2. Sebagai partai yang identik dengan Prabowo, bila elektabilitas Prabowo turun di bawah 45 persen, akan sulit bagi Gerindra menjadi partai pemenang.
  3. Gerindra tetap berpeluang berada di tiga besar bila terjadi konflik internal partai kompetitor, meskipun situasi ekonomi memburuk atau terjadi ketidakpuasan terhadap pemerintahan.
Sumber foto: INSTAGRAM GERINDRA

Suara Prabowo

Dalam Pemilu 2024 lalu kemenangan presiden Prabowo banyak ditopang oleh peningkatan suara yang tajam pada dua provinsi utama, yaitu Jawa Tengah (naik 5,37%) dan Jawa Timur (naik 5,08%). Sebaliknya, suara Prabowo mengalami penurunan tinggi di Aceh (turun 2,68%) dan Sumatera Barat (turun 2,36%). Dari analisis perbandingan suara Prabowo dalam dua pemilu ditemukan standar deviasi sebesar ±1,85%. Angka ini bisa menjadi threshold untuk melihat kenaikan dan penurunan tajam perolehan suara Prabowo pada 2019 dan 2024 (lihat grafis).

Secara historis, Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah basis politik Joko Widodo pada pemilu 2019. Perbandingan suara Jokowi vs. Prabowo pada Pemilu 2019 dapat dilihat sebagai berikut: Jawa Tengah (19,65% vs 7,20%) dan Jawa Timur (18,96% vs 12,30%). Sebagai catatan, persentase suara tersebut adalah suara calon per total suara masing-masing secara nasional. Dalam analisis ini, untuk memudahkan perbandingan, persentase suara di provinsi pemekaran Papua dan Papua Barat digabungkan dalam provinsi induk.

Sumber: Data KPU (diolah penulis)
Sumber: Data KPU (diolah penulis)

Dengan mengaju pada kondisi ini, perubahan konfigurasi politik dan pemilih di kedua provinsi ini akan mempengaruhi suara Prabowo secara nasional dalam Pemilu 2029.

Korelasi

Kenaikan suara Prabowo pada Pilpres 2024 di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang melebihi angka 5 persen, tidak diimbangi dengan kenaikan suara Gerindra secara signifikan di kedua provinsi tersebut. Sebaliknya, penurunan suara Gerindra di Jawa Barat, Aceh, dan Sumatera Barat tidak sedalam penurunan suara Prabowo di tiga provinsi tersebut.

Meski demikian, secara umum terdapat korelasi yang kuat antara suara Gerindra dan Prabowo dalam pemilu 2019 dan 2024. Pada Pemilu 2019, koefisien korelasi (r) = 0,9897 dan pada Pemilu 2024 memiliki koefisien korelasi (r = 0,984). Artinya, variasi suara Gerindra secara praktis dijelaskan oleh variasi suara Prabowo di tingkat provinsi. Outlier ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat (lihat grafis).

Implikasinya, jika kinerja pemerintahan menurun atau terjadi ketidakpuasan publik terhadap kondisi ekonomi akan berefek pada penurunan suara Gerindra, begitupun sebaliknya. Karena itu, elite-elite Gerindra seharusnya menjadi pihak yang paling aktif dan berkepentingan menjelaskan capaian kinerja pemerintah, baik di DPR maupun pemerintah.

Suara Gerindra

Selain penguatan infrastruktur partai, faktor eksternal seperti pilihan terhadap sistem pemilu, model pelaksanaan pilkada, atau waktu keserentakan pemilu akan mempengaruhi peluang Gerindra menjadi pemenang pemilu 2029.

Di internal partai, sejumlah penyegaran telah dilakukan, seperti penunjukkan Sugiono sebagai Sekretaris Jenderal menggantikan Ahmad Muzani yang sudah menjabat sejak 2008, serta Satrio Dimas Adityo menggantikan Thomas Djiwandono sebagai Bendahara Umum. Namun, kondisi itu sepertinya belum cukup untuk membuat Gerindra bisa tampil jadi pemenang. Dibutuhkan tokoh yang fokus membesarkan partai di tengah hampir semua elite utama partai yang kini menempel ke RI 1.

Ketergantungan besar Gerindra pada Prabowo Subianto bisa menjadi berkah, tetapi tanpa pembaruan dan inovasi politik, partai ini akan kesulitan menjaga memomentum elektoral.