Oleh Arya Fernandes
Pemilihan umum 2029 nanti akan menjadi pertaruhan terbesar Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk bisa bertahan dalam politik Indonesia, setelah dua kali gagal masuk parlemen. Bila gagal lagi, tidak mudah bagi PSI untuk bangkit.
Serangkaian transformasi sudah dilakukan oleh PSI. Mulai mengubah logo partai dari Bunga Mawar menjadi Gajah, menyematkan tagline sebagai Partai Super Terbuka, dan merekrut pengurus dari elite partai politik lain serta mantan aktivis organisasi mahasiswa.
Lobi partai kepada mantan Presiden Joko Widodo masih terus dilakukan dengan meminang Jokowi sebagai Ketua Dewan Pembina PSI. Namun hingga kini, PSI masih merahasiakan inisial “J” dalam struktur kepengurusan partai, apakah Jokowi atau Jeffrie Geovanie.
Transformasi kelembagaan dan organisasi tampak dari penambahan jumlah pengurus dari sebelumnya 61 posisi pada tahun 2023 menjadi 98 posisi pada tahun 2025. PSI juga memperbesar struktur organisasi dengan menambah Dewan Pertimbangan Nasional, Dewan Pakar Nasional, Ketua Harian, Wakil Ketua Umum dari 1 orang menjadi 5 orang, serta membentuk direktorat-direktorat baru di partai.
Dari sisi pengurus, dua elite Partai Nasdem memilih bergabung dengan PSI, yaitu Ahmad Ali yang pernah menjadi anggota DPR RI dari periode 2014-2024 dan Bestari Barus (mantan DPRD DKI Jakarta). PSI juga merekrut mantan tokoh mahasiswa dari HMI, PMII, PMKRI, dan KMHDI (lihat tabel )
Apakah dengan perubahan-perubahan yang telah dilakukan PSI tersebut, PSI mampu menembus parlemen dalam pemilu 2029 nanti?
Untuk membahas hal tersebut, perlu kita bahas tiga titik krusial yang akan mempengaruhi survival PSI dalam pemilu nanti, yaitu: (1) tingkat demokratisasi internal dalam pengambilan keputusan partai dan kepemimpinan di daerah; (2) dukungan politik dari Jokowi, dan (3) modal politik lainnya seperti posisi di pemerintahan Prabowo dan kepala daerah.

PARTAI TERBUKA
Komitmen menjadi partai terbuka harusnya menjadi titik paling menentukan bagi PSI untuk membangun kelembagaan partai ke depan. Keterbukaan partai dalam dilihat dari beberapa indikator, di antaranya:
- Pengambilan keputusan. Seberapa terbuka dan demokratis pengambilan keputusan di internal partai. Apakah pengambilan keputusan partai berada pada satu dan sekelompok orang, atau dimusyawahkan secara bersama oleh pengurus dan pimpinan partai. Untuk menjadi partai terbuka, setiap keputusan politik harus diambil secara bersama-sama di tingkat pengurus dan pimpinan pusat partai.
- Pemilihan pimpinan partai di daerah. Apakah tersedia mekanisme yang terbuka dan demokratis dalam menentukan pimpinan dan pengurus partai di tingkat daerah (provinsi, kabupaten/kota). Indikatornya adalah adanya mekanisme pemilihan yang demokratis untuk memilih ketua partai di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Sebagai contoh apakah terdapat mekanisme yang sama bagi setiap kader/pengurus untuk mencalonkan diri sebagai pimpinan partai di daerah dan bagaimana mekanisme pemilihannya? Artinya bila pimpinan partai di daerah masih ditunjuk oleh ketua umum atau elite partai di tingkat pusat, menunjukkan PSI belum sepenuhnya menjadi partai terbuka.
- Mekanisme penentuan kepala daerah. Seberapa terbuka dan demokratis PSI dalam menentukan kepala daerah dan bagaimana proses seleksinya?
- Desentralisasi kebijakan pencalonan anggota legislatif dan kepala daerah. Indikator penting lainnya adalah seberapa terdesentralisasi kebijakan dalam menentukan calon anggota legislatif dan kepala daerah. Seberapa tinggi atau rendah peran DPP dalam menentukan anggota legislatif dan kepala daerah.
Keterbukaan PSI tersebut juga harus tercermin dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ADR) untuk menunjukkan keseriusan PSI untuk menjadi partai terbuka. Hingga kini masyarakat belum dapat mengakses AD/ART yang terbaru.

PENGARUH JOKOWI
Aspek kedua yang menentukan survival partai adalah seberapa besar peran Jokowi dalam membantu PSI dalam pemilu 2029 nanti. Bagaimana pun sebagai presiden dua periode (2014-2024), pengaruh Jokowi masih besar, baik secara elektoral, atau pengaruh di level elit politik dan pengusaha.
Pengaruh Jokowi itu misalnya terlibat dalam beberapa hal di bawah ini:
- Pengaruh pendanaan. Modal elektoral dan pengaruh politik Jokowi bisa mendorong meningkatnya aliran dana dari pada donatur politik ke PSI menjelang pemilu nanti. Kemampuan fundraising Jokowi sudah terlihat sejak Pilkada DKI Jakarta 2017, Pilpres 2014 dan 2019, dan Pilpres 2024.
- Kekuatan politik di Pulau Jawa dan migrasi elite. Kekuatan elektoral Jokowi di Pulau Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal itu tampak dari kemenangan Ahmad Luthfi dalam Pilkada 2024 di Jawa Tengah, provinsi yang dipandang sebagai basis tradisional PDI Perjuangan sejak pemilu 1955. Pengaruh Jokowi tersebut saja mendorong terjadi migrasi elite partai, baik petahana DPR atau kepala daerah, atau anggota partai politik tertentu ke PSI. Namun, bila mengacu pada struktur kepengurusan yang baru, migrasi belum sepenuhnya terjadi. Bisa jadi karena pada elite politik masih melakukan kalkulasi terkait seberapa strategis posisi PSI dalam pemilu 2029 nanti, dan bagaimana posisi Istana terhadap manuver-manuver politik yang tengah dilakukan PSI.
- Konsolidasi Relawan. Kemenangan Jokowi sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga dua kali memenangi Pilpres 2014 dan 2019, dipengaruhi oleh mobilisasi relawan yang aktif. Bagaimanapun hingga kini Jokowi masih memegang simpul-simpul utama relawan, meskipun sebagian di antaranya ada yang beralih mendukung Prabowo Subianto.
- Dukungan kepala daerah. Kita tahu dalam Pilkada lalu, Jokowi secara terbuka memberikan restu dan dukungan terhadap sejumlah kepala daerah, termasuk Ahmad Luthfi di Jawa Tengah, Ridwan Kamil di Jakarta, dan sejumlah kepala daerah lainnya. Hal tersebut juga masih bisa menjadi modal politik bagi Jokowi.
Modal politik lainnya yang bisa dimanfaatkan oleh PSI adalah keberadaan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden. PSI bisa saja berpotensi mendukung Gibran sebagai capres dalam pemilu 2029 bila terjadi pecah kongsi antara Prabowo dengan Gibran. Apalagi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menghapus syarat pencalonan presiden/wakil presiden. Selain itu posisi Raja Juli Antoni sebagai Menteri Kehutanan juga bisa menjadi modal politik, dan posisi Bobby Nasution (Gubernur Sumatera Utara) sebagai salah satu vote getter.
Untuk bisa bertahan dalam kompetisi politik yang ketat, PSI memang harus sungguh-sunguh menjadi Partai Super Terbuka.