Oleh Arya Fernandes
Setelah kalah dalam pemilu presiden 2024 lalu, arah agenda politik PDIP masih tampak belum jelas. Sejumlah keputusan politik yang diambil terkesan penuh keraguan, termasuk dalam menentukan sikap apakah akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo atau memilih di luar kekuasaan.
Hal tersebut dapat dipahami, mengingat PDIP tengah mengalami turbulensi yang kuat dalam beberapa bulan terakhir. Mulai dari penurunan suara di pemilu legislatif dan kekalahan di pemilu presiden, hingga puncaknya saat Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto ditetapkan KPK sebagai tersangka.
Selain itu, di internal partai, belum jelas kapan Kongres VI partai akan dilakukan. Setelah kongres ditunda dari April 2025, saat ini semua kendali partai berada di bawah komando Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, terutama setelah Mega menyiratkan ada yang tengah mengobok-obok partainya.
Sebagai partai yang sudah mangalami fase naik-turun dalam politik Indonesia, kondisi tersebut membuat kita bertanya-tanya: apa yang tengah terjadi di PDIP dan bagaimana PDIP menanganinya?
Setidaknya ada empat persoalan serius yang tengah terjadi di internal partai. Bila hal tersebut tidak segera dicarikan jalan ke luarnya akan mempengaruhi suara PDIP dalam pemilu 2029 nanti, dan potensial terjadi penurunan.
Krisis Elektoral
PDIP menghadapi kondisi elektoral yang sulit. Meskipun masih bertengger di urutan pertama sebagai partai pemenang dalam pemilu legislatif, namun suara PDI Perjuangan sesungguhnya turun dari dari 19,33 persen (pemilu 2019) menjadi 16,72 persen pada pemilu 2024. Dampaknya, PDIP harus rela kehilangan 18 kursi DPR RI dari 128 kursi pada pemilu 2019 menjadi 110 kursi pada pemilu 2024.
Selain kehilangan banyak kursi di DPR. PDIP harus menelan ludah untuk bisa hattrick dalam pemilu presiden. Suara Ganjar Pranowo, calon presiden yang didukung PDIP belum bisa memenuhi ekspektasi internal. Suara mantan Gubernur Jawa Tengah itu justru mengalami tren menurun sejak Oktober 2023 dan tidak pernah lagi rebound setelah itu (Survei Indikator Politik, 4 Februari 2024).
Belum selesai di situ. Pada pilkada serentak November 2024 lalu, PDIP belum bisa menunjukkan tajinya. Dari 37 provinsi yang menggelar pilkada, calon PDIP hanya unggul di 4 provinsi yaitu, Jakarta, Bali, Papua, dan Papua Tengah. Beberapa calon inkumben (gubernur/wakil gubernur) yang diusung PDIP justru mengalami kekalahan. Seperti yang terjadi di Sumatera Utara (Edy Rahmayadi), Lampung (Arinal Djunaidi), Sulawesi Utara (Steven Octavianus), dan Sulawesi Tenggara (Lukman Abunawas).
Yang lebih memilukan, PDIP justru kalah telak di Jawa Tengah, basis utama partai sejak masa PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dulu.
Di tingkat nasional, ujian PDIP ke depan adalah memperkecil gap perolehan kursi antara kursi di pulau Jawa dan luar pulau Jawa agar dapat mendekati proporsi kursi secara nasional. Sebagai catatan, dari 580 kursi DPR RI, 306 kursi (setara 52,76%) berada di pulau Jawa dan 274 (47,24%) berada di luar pulau Jawa.
Dalam pemilu 2024, sebagian besar perolehan kursi PDIP terkonsentrasi di pulau Jawa. Dari 110 kursi secara nasional yang didapatkan, 63 kursi PDIP (setara dengan 57,27%) di dapatkan di 6 provinsi di Pulau Jawa. Sisanya 47 kursi (setara 42,73%) berada di luar pulau Jawa. Bila diturunkan per provinsi, Jawa Tengah menyumbang sekitar seperlima (20,9%) kursi PDIP secara nasional.
Bila dibandingkan 8 partai yang mendapatkan kursi di parlemen, terlihat bahwa distribusi kursi Partai Gerindra paling mendekati populasi sebaran kursi secara nasional. Dari 86 kursi Gerindra, 54,65% berada di pulau Jawa, dan 43,35% berada di luar pulau Jawa (selengkapnya lihat tabel).
Tabel 1. Perbandingan Perolehan Kursi Partai Politik di DPR Pada Pemilu 2024 berdasarkan Regional Jawa dan Luar Jawa
No |
Nama Partai |
Perolehan Kursi |
Persentase Kursi (%) |
||||
Jawa |
Luar Jawa | Total | Jawa | Luar Jawa |
Total |
||
1 |
PDIP |
63 |
47 |
110 |
57,27 |
42,73 |
100,00 |
2 |
GOLKAR |
49 |
53 | 102 | 48,04 | 51,96 |
100,00 |
3 |
GERINDRA |
47 |
39 | 86 | 54,65 | 45,35 |
100,00 |
4 |
NASDEM |
27 |
42 | 69 | 39,13 | 60,87 |
100,00 |
5 |
PKB |
46 |
22 | 68 | 67,65 | 32,35 |
100,00 |
6 |
PKS |
32 |
21 | 53 | 60,38 | 39,62 |
100,00 |
7 |
PAN |
22 |
26 | 48 | 45,83 | 54,17 |
100,00 |
8 |
DEMOKRAT |
20 | 24 | 44 | 45,45 | 54,55 |
100,00 |
Kepemimpinan internal
Isu kedua terkait suksesi dan masa depan kepemimpinan internal. Megawati Soekarnoputri sudah memimpin partai hampir 30 tahun, dan belum tergantikan hingga saat ini. Megawati tidak hanya menjadi perekat dan ideolog partai, tapi ia juga memimpin partai di masa-masa sulit selama orde baru hingga PDIP bisa mendapatkan suara lebih dari 30 persen pada pemilu 1999 setelah reformasi.
Setelah menjadi oposisi selama 10 tahun saat Susilo Bambang Yudhonoyono menjadi presiden, PDIP kembali menang di 2014. Megawati, putri Bung Karno itu bersedia tidak maju dalam pilpres 2014 dan merelakan tiket pencalonan kepada Joko Widodo, kader partai yang pertama kali ia usung dalam Pilkada Solo tahun 2005. Akhir tahun 2024, Megawati jugalah yang menandatangani pemecatan Jokowi sebagai kader banteng.
Rencana Megawati untuk mulai pensiun dari kepemimpinan partai sudah ia sampaikan pada beberapa orang dekatnya dengan menyiapkan penerusnya. Puan Maharani, ia tempa dalam sejumlah ujian politik mulai dari ketua fraksi di DPR, menjadi menteri kabinet hingga ketua DPR. Selain Puan, Mega juga menempa Prananda Prabowo yang lebih banyak mengurusi ‘dapur’ partai.
Namun, dalam 5 tahun ke depan, sepertinya belum ada tanda-tanda Megawati akan ‘pensiun’. Apalagi saat ini situasi partai tengah di persimpangan jalan. Situasi pelik seperti ini tentu membutuhkan kepemimpinan kuat dari Megawati.
Masalah ketiga terkait regenerasi politik di tengah menuanya elite-elite PDIP. Dalam 3 pemilu terakhir, jumlah anggota DPR yang berusia di bawah 40 tahun tidak mencapai 15 persen. Hal tersebut bisa dipahami mengingat masih banyaknya inkumben yang kembali maju dan terpilih. Dari 110 kursi PDIP, 62,7% di antaranya adalah inkumben. PDIP juga dihadapkan dengan membesarnya elite dari dinasti politik. Dari 110 kursi DPR, 30 anggota DPR terasosiasi dengan dinasti politik (Fernandes/CSIS, 2025).
Sementara itu, elite dari daerah hingga kini belum ada yang menonjol. Padahal dulu sejumlah kepala daerah yang diusung PDIP berhasil mencuri perhatian publik. Sebut saja Tri Rismaharini, Abdullah Azwar Anas, Djarot Saiful Hidayat, hingga Joko Widodo.
Koalisi pemerintahan
Sekarang akan ke manakah langkah politik PDIP ke depan? Apakah akan bergabung dengan pemerintahan atau tidak?
Hingga kini tidak ada yang pasti. Komunikasi antar elite kedua partai sudah dilakukan beberapa kali. Namun sepertinya kembali mentah dan membuat terjadinya kebinggungan di daerah dan nasional.
Belakangan saat isu reshuffle kembali mencuat, rumor PDIP akan bergabung pada pemerintahan Prabowo kembali terdengar. Pekan lalu (18/5) Megawati mengumpulkan para kepala dan meminta mereka untuk menyelaraskan program daerah dengan pemerintahan pusat dengan tetap kritis. Sementara di DPR, sebagian besar elite partai memilih untuk menunggu akan ke mana arah pendulum politik Mega.
Dengan Prabowo sendiri, Megawati pernah berkongsi. Saat pemilu 2009, Prabowo menjadi cawapres Mega. Dan pada tahun 2012 keduanya mengusung Jokowi – Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta. Dua tahun setelahnya, keduanya bertarung keras dalam pilpres 2014, 2019 hingga 2024.
Hubungan Mega dan Prabowo juga naik-turun. Sebagai contoh, PDIP pernah ‘memboikot’ pelaksanaan retreat kepala daerah terpilih di Akademi Militer Magelang yang dimulai 21-28 Februari 2025 lalu. Dalam instruksi politiknya, Mega meminta para kepala daerah untuk menunda perjalanan menuju retreat dan menunggu arahan lanjutan dari ketua umum. Belakangan setelah heboh, PDIP meralat pernyataan dan menyampaikan bahwa ketua umum tidak pernah melarang kader untuk mengikuti retreat.
Meskipun pernah berhadap-hadapan, keduanya tak pernah memendam dendam. 9 April 2025 lalu, dalam suasana lebaran, kedua bertemu empat mata.
Pertanyaannya, seberapa strategis PDIP bergabung pemerintah? Dalam jangka menengah, bisa jadi akan penting bagi keduanya. Puan Maharani bisa jadi opsi cawapres Prabowo. Dan PDIP pun bisa legawa, mengingat bargaining position nya tidak sekuat dulu. Tapi partai-partai di internal koalisi pemerintahan, tentu tidak tinggal diam. Beberapa partai seperti Golkar, PAN, Demokat juga mengincar posisi yang sama.
Megawati telah melewati masa perjuangan politik yang panjang dan teruji dalam setiap krisis politik. Namun, usianya terus bertambah. Tantangan politik selalu berbeda. Kini Megawati akan kembali diuji, apakah ia akan lolos dari lubang jarum?***