Oleh Arya Fernandes
Ada tiga momentum yang bisa jadi akan mendorong Presiden Prabowo Subianto melakukan reshuffle kabinet dalam waktu 1-2 bulan ke depan, setelah tarik-ulur selama beberapa waktu.
Momentum pertama terkait masa kerja pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan berusia satu tahun pada Oktober mendatang. Selanjutnya, adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang melarang rangkap jabatan antara wakil menteri dan komisaris BUMN. Terakhir rencana pelaksanaan Kongres PDI Perjuangan yang salah satu agendanya akan menentukan sikap partai—apakah akan bergabung ke dalam koalisi pemerintahan atau tidak. Kongres tersebut menurut informasi akan dilaksanakan pada Agustus 2025 ini.
Dari sisi politik, kabinet Prabowo sebenarnya sudah mendapatkan dukungan mayoritas dari kekuatan politik di DPR RI. Enam dari delapan fraksi di DPR telah menjadi anggota koalisi pemerintahan, yaitu Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PKB, dan PKS. Dukungan enam fraksi ini setara dengan 70 persen kekuatan di Senayan, sehingga menyisakan PDIP dan Nasdem yang tidak menjadi anggota kabinet. Meskipun demikian, PDIP dan Nasdem cenderung bersikap kompromistis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Sikap akomodatif Prabowo dengan membentuk kabinet 109 menteri dan wakil menteri, membuat partai-partai dan kelompok politik lainnya merasa nyaman. Di DPR, program-program pemerintah didukung secara penuh, seperti efisiensi anggaran di awal pemerintahan, pembentukan Danantara, Program Makan Bergizi Gratis, dan Program Sekolah Rakyat, Koperasi Merah Putih, serta program strategis lainnya.
Secara umum, kabinet Prabowo dapat dibagi dalam empat kluster utama:
- Kluster Ring Satu Prabowo/Gerindra, yaitu para menteri yang pernah mempunyai kedekatan personal dengan Prabowo atau diusulkan oleh Gerindra.
- Kluster Menteri Petahana, yakni pernah menjabat sebagai menteri pada pemerintahan mantan presiden Joko Widodo, baik periode 2014-2019, 2019-2024, maupun keduanya.
- Kluster Partai Politik, berasal dari elite partai baik ketua umum, sekretaris jenderal, maupun orang dekat ketua umum.
- Kluster Nonpartai, yaitu mereka yang tidak memiliki afiliasi formal dengan partai politik, namun memiliki koneksi dan relasi yang baik dengan partai tertentu.
Penjelasan lebih lanjut nama-nama setiap kluster sebagai berikut:
Kluster | Nama |
---|---|
Prabowo/Gerindra | Prasetyo Hadi, Sugiono, Sjafrie Sjamsoeddin, Supratman Andi Agtas, Fadli Zon, Maruarar Sirait, dan Rachmat Pambudy. |
Petahana | Airlangga Hartarto*, Pratikno, Sri Mulyani Indrawati, Andi Amran Sulaiman, Budi Gunawan, Zulkifli Hasan*, Muhammad Tito Karnavian, Budi Gunadi Sadikin, Agus Gumiwang Kartasasmita*, Bahlil Lahadalia*, Sakti Wahyu Trenggono, Erick Thohir, Budi Arie Setiadi, dan Ario Bimo Nandito Ariotedjo*. |
Partai Koalisi | Golkar (8 orang) : Bahlil Lahadalia, Airlangga Hartarto, Agus Gumiwang Kartasasmita, Meutya Viada Hafid, Nusron Wahid, Maman Abdurrahman, Ario Bimo Nandito Ariotedjo dan Wihaji. |
PAN (6 orang): Zulkifli Hasan, Budi Santoso, Yandri Susanto, Dudy Purwagandhi, Sakti Wahyu Trenggono dan Hanif Faisol Nurofiq. | |
Demokrat (4 orang): Agus Harimurti Yudhoyono, Dodi Hanggodo, Teuku Riefky Harsya, dan Iftitah Suryanegara. | |
PKB (3 orang): Abdul Muhaimin Iskandar, Saifullah Yusuf, dan Abdul Kadir Karding. | |
PKS (1 orang): Yassierli | |
Non-Parlemen (2 orang): Yusril Ihza Mahenra (PBB) dan Raja Juli Antoni (PSI). | |
Nonpartai | Nasaruddin Umar (NU), Natalius Pigai (Aktivis), Agus Andianto (mantan Wakapolri), Abdul Mu’ti (Muhammadiyah), Brian Yuliarto (ITB), Rini Widyantini (Birokrat), Widiyanti Putri (Profesional), Arifatul Choiri Fauzi (NU) dan Rosan Perkasa Roeslani (Profesional). |
*nama bertanda bintang juga dikategorikan dalam cluster partai koalisi.
Bila diperhatikan secara mendalam, postur kabinet sebenarnya cukup bagus, meskipun sangat besar. Dari pemetaan anggota kabinet ditemukan bahwa sekitar sepertiga dari anggota kabinet Prabowo pernah mempunyai pengalaman sebagai anggota kabinet pada pemerintahan Jokowi, yang dalam tulisan ini dikategorikan sebagai menteri petahana. Yaitu mereka yang pernah menjabat sebagai menteri minimal 1 tahun atau lebih pada salah satu atau kedua masa pemerintahan Jokowi. Nama Agus Harimurti Yudhoyono dan Supratman Andi Agtas tidak dikategorikan sebagai menteri petahana karena menjabat kurang dari 1 tahun.
Dalam kabinet Prabowo tercatat sekitar 14 orang menteri petahana (29,2 persen) dari total 48 orang menteri, dengan rincian:
- Empat orang menteri pernah menjabat dalam dua periode Jokowi: Airlangga Hartarto, Pratikno, Sri Mulyani Indrawati dan Andi Amran Sulaiman.
- Sepuluh menteri pernah menjabat pada periode 2019-2024: Budi Gunawan, Zulkifli Hasan, Muhammad Tito Karnavian, Budi Gunadi Sadikin, Agus Gumiwang Kartasasmita, Bahlil Lahadalia, Sakti Wahyu Trenggono, Erick Thohir, Budi Arie Setiadi, dan Ario Bimo Nandito Ariotedjo.
Untuk lima orang pejabat setingkat menteri, umumnya adalah orang dekat Prabowo, yaitu Muhammad Herindra, AM Putranto, dan Teddy Indra Wijaya. Sementara itu, Sanitiar Burhanuddin adalah Jaksa Agung petahana, dan Hasan Nasbi merupakan tim kampanye nasional Prabowo-Gibran.

Aspek Strategis
Di tengah stabilitas politik apa yang membuat Presiden Prabowo mempertimbangkan melakukan reshuffle kabinet? Seberapa strategiskah itu dilakukan dan mengapa masih maju-mundur?
Dalam praktik politik pascareformasi, presiden biasanya melakukan reshuffle apabila ada menteri yang tidak bekerja optimal, terutama dalam memenuhi target-target presiden. Pergantian juga bisa didorong oleh kebutuhan penyegaran di kabinet, penguatan dukungan politik presiden, atau penyesuaian akibat konflik di internal partai politik. Selain itu, presiden juga pernah mengganti menteri yang kontroversial, dan dapat mengganggu citra pemerintah.
Presiden tampaknya menyadari bahwa dengan postur kabinet yang besar dan dukungan belanja kementerian/lembaga (K/L) yang hanya mengalami kenaikan sekitar 6,3 persen dari Rp 1.090,8 triliun menjadi Rp 1.160,1 triliun dalam APBN 2025, membuat sejumlah K/L belum maksimal bekerja. Pada tahun 2025, belanja kementerian/lembaga tersebut harus dialokasikan ke 48 kementerian dari yang sebelumnya hanya 34 kementerian. Meskipun begitu, presiden tentu tidak mau bertaruh tanpa perhitungan. Menteri-menteri yang belum maksimal bekerja, tentu sudah mendapatkan catatan dari presiden dan dapat diganti.
Dengan kondisi ekonomi yang masih belum stabil serta ketidakpastian ekonomi dunia, presiden memasang target pertumbuhan ekonomi 8 persen. Banyak ekonom menyangsikan hal itu bisa dipenuhi, tapi pemerintah punya hitungannya sendiri dan tampak percaya diri. Belum lagi target penerima manfaat dari program besar seperti MBG, Koperasi Merah Putih, dan Sekolah Rakyat yang sudah dijanjikan presiden.
Dengan ambisi besar presiden tersebut, presiden harus dibantu oleh para menteri yang memang berkualitas dan orang-orang terpilih. Niat pergantian menteri seharusnya diarahkan untuk memperkuat kinerja kabinet dan menyukseskan program besar Presiden Prabowo, bukan untuk tujuan lain.
Namun, realitas yang dihadapi presiden tidak mudah. Kluster partai politik adalah kelompok yang paling sulit untuk diganti karena diisi oleh tokoh kunci partai seperti ketua umum, sekjen, atau orang besar di partai politik.
Skema pergantian yang bisa diterapkan misalnya bisa merotasi menteri pada kementerian yang berada dalam koordinasi yang sama, atau mempromosikan wakil menteri menjadi menteri. Hal ini bisa lebih masuk akal karena tidak membutuhkan waktu adaptasi yang lama bagi menteri baru. Perubahan besar sebaiknya dihindari karena akan menganggu kepercayaan market.
Maju-mundur reshufle ini dapat dibaca sebagai upaya presiden untuk melakukan pertimbangan matang sebelum mengambil keputusan penting, termasuk kemungkinan menunggu sikap politik PDI Perjuangan.*