Oleh Arya Fernandes
Yang menarik dalam reshuffle kabinet kali ini adalah munculnya nama Jenderal (Purn) Djamari Chaniago. Nama-nama lain hampir dapat diprediksi sebelumnya. Namun, nama Djamari tak banyak yang tahu. Namanya tertutup rapat, bahkan hingga beberapa saat sebelum terjadinya reshuffle.
Siapa yang membisikkan nama Djamari ke telingga Prabowo? Atau justru Prabowo sendiri yang memilihnya? Dan apa motivasinya menunjuk “Jenderal Gaek” itu?
Setelah pensiun dari dinas militer tahun 2004 sebagai Kepala Staf Umum TNI, nama Djamari nyaris tak terdengar. Ia bahkan tak ikut bermain dalam hiruk pikuk politik nasional, seperti kebanyakan pensiunan jenderal lainnya. Sekitar 10 tahun kemudian, pada tahun 2015-2016, ia menjadi Komisaris Utama PT Semen Padang, perusahaan plat merah di daerah kelahirannya. Setelah itu, namanya menghilang kembali di media. Tiba-tiba saat reshuffle kabinet, namanya diumumkan.
Sebelum kita menganalisis siapa Inyiak Djamari ini, mari kita lihat bagaimana konstelasi politik di sekitar Prabowo dan mengapa posisi inyiak ini penting. Inyiak adalah sebutan kepada orang yang dituakan di Minangkabau.
Pasca-1998, Prabowo menghadapi situasi yang sulit. Tak banyak jenderal dan elite politik yang mau berada di dekatnya saat itu. Pada tahun 2004 saat Golkar menggelar konvensi calon presiden, Prabowo mendaftar sebagai kandidat dan kalah. Ketika itu Golkar memilih Wiranto sebagai calon presiden. Pada tahun 2008, Prabowo mendirikan Partai Gerindra, dan mengikuti pemilu presiden 2009, 2014, 2019—semua berakhir dengan kekalahan. Baru pada pemilu presiden 2024, ia menang dengan angka 58,59% suara.
Dalam situasi pelik pascareformasi itu, ia membangun “pasukan” kecil yang spartan dan loyal, yang sekarang menjadi bagian terpenting dalam kekuasaannya. Namun, Prabowo sadar ia tidak bisa bergerak sendiri. Ia pun menyiapkan kelompok lain, terutama dari kalangan pensiunan tentara. Kini setelah menjabat presiden, Prabowo dikeliling banyak orang, baik yang bergabung sejak awal, atau yang masuk di tengah jalan, dan di ujung jalan.
Kembali ke Djamari yang dibahas dalam tulisan ini. Setelah Agustus 2025, Prabowo mulai menyadari bahwa ia membutuhkan counterpart. Pilihannya jatuh pada seniornya di Akademi Militer (Akmil) yaitu Djamari Chaniago. Sosok tersebut mungkin dapat memberikan sudut pandang lain soal dalam mengelola kekuasaan. Preseden yang sama juga dilakukan mantan Presiden SBY yang memilih Sudi Silalahi (Akmil 1972) untuk menjadi Menteri Sekretaris Kabinet.

Bagaimana posisi Djamari di antara nama-nama besar alumni Akmil leting 60-70an?
Di tengah “perang bintang” para pensiunan jenderal, Djamari yang lulusan Akmil 1971 dapat menjadi hub senior dan junior (lihat tabel 1). Ini bisa mengonfirmasi bahwa sepertinya nama Djamari memang muncul langsung dari Prabowo. Selain sebagai counterpart, Djamari juga dipandang memiliki aspek strategis terutama dalam mengelola situasi-situasi kritikal ke depan. Apalagi ia pernah berada di jantung politik Jakarta saat terjadi krisis 1998. Saat itu ia menjadi Pangkostrad dari 23 Mei 1998 sampai 24 November 1999. Memilih Djamari menunjukkan keinginan Prabowo ingin mendapatkan keseimbangan informasi di internal, sehingga informasi tidak hanya berasal dari ring ½, ring 1, koalisi partai, tetapi juga dari counterpart.
Tabel 1. Nama-nama tokoh nasional lulusan AKMIL angkatan 50-70an
No | Nama | Tahun Lulus |
1 | Try Sutrisno | ‘59 |
2 | A.M Hendropriyono | ‘67 |
3 | Agum Gumelar | ‘68 |
4 | Sutiyoso | ‘68 |
5 | Wiranto | ‘69 |
6 | Luhut Binsar Panjaitan | ‘70 |
7 | Djamari Chaniago | ‘71 |
8 | Kiki Syahnakri | ‘71 |
9 | Endriartono Sutarto | ‘71 |
10 | Susilo Bambang Yudhoyono | ‘73 |
11 | Prabowo Subianto | ‘74 |
12 | Sjafrie Sjamsoeddin | ‘74 |
13 | Joko Santoso | ‘75 |
Konteks Strategis
Dalam konteks Sistem Manajemen Nasional (Sismennas), sebagai Menkopolkam, Djamari memegang kendali bila terjadi deadlock politik dan keamanan. Ia juga bertanggungjawab melakukan sinkronisasi dan koordinasi di bidang politik dan keamanan, untuk selanjutnya melaporkan ke presiden—seperti diatur dalam Perpres Nomor 141 tahun 2024. Saat ini terdapat tujuh kementerian dan lembaga yang berada di bawah koordinasi kementerian koordinator, yaitu: Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Komunikasi dan Digital, Kejaksaan Agung, TNI, dan Polri.
Dengan posisi strategis tersebut, Djamari akan menjadi counterpart penting bagi presiden. Dan dalam dalam situasi politik baru, Djamari dituntut dapat beradaptasi secara cepat dan terukur.***