Arah Hubungan Prabowo dan Jokowi

Sumber foto: kumparan.com

Oleh Arya Fernandes

Ke mana arah hubungan Presiden Prabowo Subianto dan mantan presiden Joko Widodo ke depan? Apakah hubungannya akan semakin menguat atau justru sebaliknya?

Senin, 5 Mei 2025 lalu, dalam Sidang Rapat Paripurna Kabinet, Prabowo membantah keras dianggap sebagai presiden boneka yang dikendalikan oleh Jokowi. “Saya dibilang presiden boneka, saya dikendalikan oleh Pak Jokowi, seolah-olah Pak Jokowi tiap malam telepon saya. Saya katakan itu tidak benar,” tegas Prabowo menepis tudingan tersebut.

Hubungan Prabowo dan Jokowi memang naik turun dan telah melewati beberapa fase. Mulai dari fase kompetisi dan polarisasi (2014-2019), fase kolaborasi dan rekonsiliasi (2019-2024), dan fase survival (2024 – sekarang).

Dalam fase pertama, kompetisi Prabowo dan Jokowi mengarah ke polarisasi. Keduanya bersaing ketat tidak hanya dalam masa pemilu, tetapi juga setelah pemilu. Saat menjadi rival Jokowi dalam pemilu presiden 2014 dan 2019, Prabowo mengalami dua kekalahan beruntun.

Pada fase ini polarisasi politik di tengah masyarakat begitu kuat, hingga memunculkan istilah cebong dan kampret. Kecurigaan politik di antara masyarakat sangat tinggi. Orang begitu mudah untuk menuding dan mencela bila berbeda pandangan politik. Hoaks dan misinformasi menyebar luas. Di fase tersebut, Prabowo menjadi simbol oposisi dan tampil sebagai anti-tesis Jokowi.

Fase kedua terjadi setelah pemilu 2019, Prabowo menerima tawaran untuk masuk kabinet dan mengisi pos Menteri Pertahanan. Saat inilah dimulai fase rekonsiliasi dengan Jokowi. Di fase ini, polarisasi belum sepenuhnya hilang, namun sudah berkurang jauh. Trust antara Jokowi dan Prabowo semakin menguat. Bahkan Jokowi mempercayakan program strategis nasional seperti Food Estate dikelola Prabowo.

Di saat hubungan Jokowi dengan PDI Perjuangan memburuk, hubungan Jokowi dengan Prabowo justru semakin lengket, terutama setelah putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka diplot menjadi calon pendamping Prabowo. Saking lengketnya, Prabowo sesumbar berjanji untuk melanjutkan program-program pemerintahan Jokowi, termasuk Ibukota Negara (IKN).

Perubahan arah dukungan Jokowi dalam pemilu presiden 2024 membuat suara Ganjar tersungkur. Sebaliknya suara Prabowo secara konsisten mengalami kenaikan hingga mendekati 50 persen beberapa minggu sebelum pemilihan. Sebagian besar lembaga survei saat itu belum berani menyimpulkan apakah pilpres akan berlangsung dalam 1 atau 2 putaran.

Walhasil, Prabowo berhasil memenangi pemilu presiden 2024 dengan selisih yang mencolok dengan dua kompetitornya, yaitu Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Dalam pemilu tersebut, Prabowo memperoleh 58,59 persen suara. Anies mencatatkan namanya di urutan kedua dengan suara mendapatkan 24,95 persen dan Ganjar 16,47 persen.

Setelah Prabowo dipastikan menang dalam pemilu, Jokowi mulai menyiapkan transisi politik yang mulus bagi Prabowo. Beberapa bulan sebelum akhir jabatannya, Prabowo kerap hadir dalam rapat-rapat terbatas di kabinet. Bahkan sebelum mengumumkan nama-nama menteri Kabinet Merah Putih, Prabowo tercatat dua kali menemui Jokowi.

Pada malam hari setelah dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober 2024, Prabowo langsung mengumumkan seluruh anggota kabinetnya. Ia membentuk oversized coalition dengan menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 48 pos. Semua partai pendukung, baik yang lolos parlemen atau partai gurem yang tidak lolos parlemen mendapatkan posisi di Kabinet Merah Putih. Untuk menambah amunisi politik, ia juga menampung partai yang tidak mendukungnya seperti PKB dan PKS. Selain itu, 17 orang menteri/wakil menteri yang pernah menjabat pada era Jokowi juga kembali diangkat.

Di sisi lain, hubungan Jokowi dan PDI Perjuangan terus memburuk dan diperparah saat pilkada serentak 27 November 2025 silam. Pada pilkada tersebut, koalisi Prabowo-Jokowi berhasil menang di banyak provinsi besar di Indonesia. Sebaliknya, PDI Perjuangan justru mengalami kekalahan di basis politiknya seperti Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.

Survival

Fase ketiga dari hubungan Prabowo dan Jokowi bisa disebut dengan fase survival. Fase ini sangat krusial karena akan menentukan seberapa bertahan hubungan keduanya. Potensi konflik dan perbedaan kepentingan bisa muncul pada fase ini. Hal itu sangat ditentukan oleh bagaimana Prabowo merespons pergerakan-pergerakan tanpa bola Jokowi.

Saat ini, Prabowo sudah hampir 6 bulan menjabat sebagai presiden. Dari 17 program prioritas kampanye, Prabowo menaruh perhatian besar pada Makan Bergizi Gratis (MBG). Bahkan ia harus membentuk badan baru untuk mengelola program prestisius itu. Hingga akhir tahun 2025 program ini ditaksir akan menghabiskan anggaran negara hingga Rp 171 triliun. Dana tersebut bisa membengkak bila pemerintah menambah jumlah penerima program itu.

Pemerintah juga direncanakan akan menggelontorkan dana sekitar Rp 400 triliunan untuk mendanai program Koperasi Merah Putih. Direncanakan program itu akan dikelola oleh Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi yang juga Ketua Umum Pro Jokowi (Projo). Dalam peraturan yang sudah diteken Prabowo, program tersebut akan dilaksanakan di 80 ribu desa/kelurahan di seluruh Indonesia.

Namun, di tengah haru biru dan masa bulan madu pemerintahan, isu Matahari Kembar menyeruak ke permukaan. Pangkalnya berawal dari pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono setelah mengunjungi kediaman pribadi Jokowi. Saat di doorstop wartawan, Trenggono menyebut Jokowi sebagai bos-nya. Selain Trenggono, beberapa menteri lain juga mengunjungi kediaman Jokowi saat Presiden Prabowo tidak berada di Indonesia.

Memang setelah tidak lagi menjadi presiden, Jokowi tak sepenuhnya pensiun dari kegiatan politik praktis. Ia masih berkeliling Indonesia dan menerima banyak tamu: mulai dari para menteri, elite politik, hingga pengusaha. Setelah isu Matahari Kembar mengemuka ia masih menerima kunjungan Peserta Didik Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (Serdik Sespimmen) Polri, pada 20 April 2025 lalu.

Walau tak lagi menjadi presiden, Jokowi sadar ia masih menjadi media darling dan terus diburu para pewarta. Hampir tiap pekan, ia rutin memberikan keterangan pers kepada awak media. Dan ia terus membangun hubungan baik dengan sejumlah elite dan kekuatan politik untuk memelihara tajinya.

Terhadap isu matahari kembar, Istana memilih jawaban diplomatis untuk menghindari polemik politik yang bisa saja timbul. Sepertinya istana menghindari betul untuk membangun front terbuka dengan Jokowi.

Retak

Ke depan, hubungan Prabowo dan Jokowi bisa saja retak atau menguat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pertama, bagaimana Jokowi memosisikan diri secara politik setelah tak lagi berkuasa.

Bagi Prabowo, meskipun ia menaruh hormat kepada Jokowi, tetapi sebagai presiden yang tengah berkuasa, tentu ia tidak ingin ada dua matahari kembar di Istana. Apalagi dipersepsikan publik dikendalikan oleh Jokowi. Tak heran bila ia memberikan pernyataan tegas bahwa ia bukan boneka Jokowi.

Bagi Jokowi, menempatkan diri secara arif dalam politik Istana rasanya adalah pilihan yang tepat. Ia dapat aktif dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan, atau terlibat dalam inisiatif regional dan global, seperti yang dilakoni para mantan presiden.

Pemicu kedua bisa berhubungan dengan kemungkinan adanya reshuffle kabinet. Terutama apakah para menteri yang dekat dengan Jokowi akan diganti atau tetap dipertahankan. Hal inilah yang akan menyulitkan bagi Prabowo. Tapi bagaimanapun ia harus memikirkan arah dan kinerja kabinet ke depan.

Faktor ketiga terkait posisi Gibran dalam pemilu 2029 mendatang. Beberapa partai politik yang sudah mendeklarasikan dukungan pada Prabowo memilih untuk tidak menyebut nama Gibran.

Peluang Prabowo untuk kembali berduet dengan Gibran sepertinya memang tidak terlalu besar. Apalagi saat ini Gibran belum memiliki afiliasi dengan partai politik manapun. Sementara pengaruh politik Jokowi tentu tidak sekuat dulu.

Di sisi lain, partai-partai besar dan menengah tengah antri untuk menyodorkan nama ketua umumnya untuk berpasangan dengan Prabowo.

Sebagai penutup, menjelang 1 tahun pemerintahan, intrik-intrik politik bisa saja akan menciptakan instabilitas. Perhitungan politik yang terukur dan kebijaksanaan Presiden Prabowo dalam mengelola pemerintahan akan menentukan tidak hanya kinerja pemerintahan, tetapi juga nasib bangsa menjelang 100 tahun Indonesia Merdeka.